Kata-Kata yang Tak Pernah Setia
Sebelum menggemari dunia tulis-menulis, saya tidak pernah merasa ada masalah dengan kata-kata. Hubungan saya dengan kata-kata bisa dibilang biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Kata-kata yang saya gunakan selalu meluncur begitu saja tanpa pernah saya pertanyakan lagi maknanya. Seolah-olah sejak dulu kata-kata memang sudah seperti itu: tercipta tanpa ada kendala. Saya berbicara dengan kata-kata, saya menulis lagu dengan kata-kata, saya berdoa dengan kata-kata, bahkan ketika sedang melamun pun saya masih menggunakan kata-kata. Begitu seterusnya. Sekali lagi, hubungan saya dengan kata-kata bukanlah sesuatu hal yang istimewa. Namun, ketika saya sudah mulai menggemari dunia tulis-menulis, ketika hubungan saya dengan kata-kata sudah lumayan akrab dan intim, ketika itu pula saya mulai merasakan betapa kata-kata itu ternyata adalah sesuatu hal yang busyet!
Ya, ketika sudah mulai sering berinteraksi dengan kata-kata, akhirnya saya mengalami beberapa masalah. Seperti seorang remaja yang terlalu banyak menghisap ganja, lambat laun saya mulai paranoid dengan kata-kata. Di mata saya, kata-kata sudah seperti sejentik api. Jika diperlakukan dengan benar, ia akan berguna. Jika diperlakukan dengan sembrono, ia akan menjadi bencana. Hmmm. Apa boleh buat. Ternyata kata-kata memang tidak pernah sesederhana yang kita duga.
Beberapa tahun yang lampau, ketika saya masih muda dan aktif di scene punk dan skinhead, saya pernah membuat sebuah tulisan yang (jika dilihat dari sudut pandang tertentu) bisa dikatakan lumayan kurang ajar. Tulisan itu saya buat beberapa hari sebelum saya manggung di acara punk yang turut mengundang band Oi! dari Jerman. Tulisan saya itu lumayan pendek, di-layout dengan amat sederhana, difotokopi perbanyak, untuk kemudian disebarkan ke setiap orang secara sembarangan. Sebenarnya ide untuk membuat tulisan itu bukan murni dari saya, melainkan juga dari ide teman-teman saya. Namun, tetap saja tulisan itu adalah tulisan saya, sebab memang saya yang menulisnya. Saya yang merangkai kata-katanya. Akibatnya, beberapa orang yang membaca tulisan itu menjadi murka.
Keesokan harinya, teman saya disatroni beberapa orang (skinhead dan punk) dari Jakarta pada lewat tengah malam. Mereka mempertanyakan isi tulisan itu dan menanyakan siapa pembuatnya. Teman saya itu menjawab, “Anak-anak yang buat!”. Dia tidak menyebut nama saya.
Rupanya orang-orang yang menyatroni teman saya itu adalah orang-orang yang merasa tersentil oleh isi tulisan saya. Suasana scene di Jakarta-Depok dan sekitarnya menjadi panas. Bahkan, saya dengar, wacana seputar tulisan saya itu sudah menyebar sampai ke daerah Yogyakarta dan Bali. Astaga! Tulisan saya itu ternyata telah berhasil memperkeruh suasana yang sebelumnya memang sudah keruh. Aroma pertikaian mulai menyengat. Beberapa orang yang tidak menyukai isi tulisan tersebut mengatakan bahwa tulisan saya itu terlalu kasar. Tentu saja saya kaget. Saya pikir, kata-kata yang saya gunakan di tulisan itu masih bisa dibilang lumayan santun (meskipun sangat tegas), masih kalah kasar jika dibandingkan dengan kata-kata yang terdapat di zine-zine punk dan skinhead senusantara. Di dalam tulisan saya itu kamu tidak akan menemukan kata-kata seperti: bangsat, bajingan, anjing, dancuk, babi, dan kata-kata yang dianggap kasar lainnya. Di titik inilah saya mulai berpikir: saya harus lebih hati-hati lagi dengan kata-kata.
Kata-kata adalah perkara yang subjektif. Rupanya, tingkat “kekasaran” saya dan orang lain memang berbeda. Di titik inilah lagi-lagi saya berpikir: kata-kata adalah hal yang paling rumit sedunia!
Seperti yang tadi telah saya bilang, kata-kata adalah perkara yang sangat subjektif, dan kesubjektifannya itulah yang sering membuat saya jadi agak waspada dengan kata-kata. Apa boleh buat. Beginilah risiko menjadi seorang manusia. Orang lain adalah neraka, begitu kata Sartre. Mau tidak mau saya harus berpikir ulang jika ingin menggunakan kata-kata, sebab siapa tahu saja kata-kata yang saya gunakan itu bisa memacu adrenalin seseorang untuk memecahkan kepala saya dengan balok.
Namun, meskipun begitu, saya akan masih tetap menggunakan kata-kata. Hanya saja sekarang tidak seperti dulu. Sekarang saya mesti pintar-pintar memilah kata-kata apa yang ingin saya gunakan, lihat dulu konteksnya seperti apa, agar segalanya berjalan baik-baik saja tanpa ada ruang untuk salah sangka.
Saya harap kamu juga begitu, sebab ternyata kata-kata itu tidak pernah setia. Kata-kata tidak pernah selalu apa adanya.[]
Catatan: di bawah ini saya lampirkan tulisan saya yang sempat membuat scene punk dan skinhead Jakarta-Depok keruh.
Saatnya Merayakan Pengkhianatan
Sepertinya memang sudah saatnya kita kubur hidup-hidup mitos persatuan dan kebersamaan. Sudah saatnya kita tatap dunia dengan semangat kecurigaan. Mana kawan dan mana lawan sudah seharusnya kita periksa lebih teliti dengan kaca pembesar. Bukan sang hitam yang kita takuti, melainkan sang abu-abu yang harus kita waspadai. Ingat, ternyata masih banyak orang yang mengulas senyum di hadapan, tetapi mengepalkan tangan di belakang.
Itu sebabnya kami menganggap bahwa konsep persatuan dan kebersamaan (dalam scene) adalah fantasi yang terlalu muluk, atau bisa juga dikatakan absurd. Mengingat sudah banyak sekali pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakaukan oleh para penikam punggung, yang telah rela berjabat tangan dengan korporasi-korporasi besar dalam melakukan kerja sama; bersama televisi mereka bernyanyi, bersama produk rokok mereka unjuk gigi, bersama dengan siapa lagi mereka akan harus rela melacurkan diri? Persetan dengan segala macam bentuk dalil pembelaan! Persetan dengan seribu satu bentuk alasan! Di sinilah kami berdiri dengan kepala tegak,! Di sinilah kami berteriak: “Tak ada lagi kompromi! Wahai Pengkhianat, kini kami dan kalian sudah tidak lagi berada dalam lingkaran yang sama!”
Mari kita rayakan pengkhianatan! Sebab, dengan mereka melakukan pengkhianatan, posisi siapa kawan dan siapa lawan akan terlihat semakin terang, seterang matahari yang gemar menciptakan bayang-bayang!
(Skinhead Against Mainstream Media ~ Proklamasi, Depok)